Hujan siang ini berbalut hangatnya mentari dan mega yang tersembunyi. Hujan panas. Basah dan lembab tapi terang. Aku suka kondisi seperti ini, saat dimana awal hujan menguarkan aroma tanah yang kata orang sarat akan virus namun amat kunikmati. Sebab di sela-sela tirai tipis gerimis yang menghujani bumi, aku seakan mampu mengisap aroma tubuhmu. Kasar dan samar bercampur wangi kopi di mejaku, berselimut harapan kosong yang menguatkan hadirmu di hatiku. Mengantarkan kenangan masa lalu.
Aku teringat pertemuan pertama itu, saat sosokmu untuk kesekian kali lewat di depanku, namun baru sekali itulah aku benar-benar memperhatikanmu. Sebersit siluet tegas dalam sekelebat langkahmu menuju gedung satu. Kau mengenakan long coat hitammu hari itu. Amat selaras di tubuh jangkungmu bagai jubah yang keperakan ditebas hujan, senada dengan setelan dan warna matamu yang cokelat madu. Kau bagaikan warga negara lain saja. Melihatmu berjalan menembus mendung tanpa payung atau seorangpun disisimu, aku seakan berteleportasi kembali ke Salisbury dimana tugu suci Stonehenge berjibaku dimakan waktu. Para wiccans kerap meletakkan rangkaian ilalang, lavender dan sage pada beberapa titik untuk menghormati monumen itu. Sesepermili detik, memoriku terbius lagi secara nostalgis... Akupun secara tidak langsung mulai angkat topi pada dirimu yang mampu membawaku deja vu. Momen itu adalah awal ketertarikanku, yang membuka jalan kepada temu lainnya setelah itu.
Hujan menderas. Tetesnya bagai derap seribu langkah kuda liar. Mungkin akan segera berakhir setelah seluruh kendi di awan tumpah ruah seluruhnya. Aku akan jujur padamu, kadang terlintas pikiran jahat di benakku kala di saat seperti ini aku melamunkanmu, aku berharap kau sedang berada di tengah hujan pula. Meski aku tahu itu malah akan membuat penyakit makin menggerogotimu, aku tak tahu mengapa aku berharap begitu. Mungkin karena aku pikir hujan akan menuntunmu kembali ke rumahku. Huh, betapa rapuhnya bila rindu tak bertuan hinggap di serat otakku.
Lelah pikiranku mengembara di pinggir jendela. Hujan tak kunjung reda juga. Aku beranjak ke shower, membiarkan hangatnya menghujani mata hatiku. Menyamarkan serakan air mata haru. Dalam siramannya aku berdo’a dalam hati. Moga kemudian kelak saat aku telah harum dan wangi, hujan akan membimbing langkahmu, dan di pintuku tubuhmu akan kembali kudapati. Menagih racikan royal milk tea andalanku dan sekedar tempat untuk berteduh sekaligus berbagi.
Saat itu menjadi nyata, aku tahu pasti. Hujan atau tidak hujan, kau takkan beranjak pergi. Membasuh mimpi ditemani aroma bumi, kita tidak sendiri lagi, melainkan tersenyum bersama hingga esok berganti pagi.
Tuesday, April 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment