Aku tahu kamu tidak disana. Saat kita semua sedang berkumpul, membicarakan hal2 menyenangkan yang membuat rileks syaraf-syaraf otak. Tertawa, tanpa ada beban yang ikut bergabung, tapi tidak dengan kamu. Kadang kamu memang ikut tertawa, seolah-olah mengerti apa yang sedang kamu tertawakan. Tapi aku tahu, kamu tidak disana, tawamu hanya formalitas saja.
Kamu tidak pernah ada disana, sesuatu menyedotmu kesana, ke tempat dimana kamu habiskan tiap jam dan detikmu. Tapi itu diluar kuasamu, kalau saja kamu bisa kamu ingin pergi dari situ. Tapi kamu terjebak di tempat itu. Ya, di alam pikiranmu, tempat dimana Ia berada.
Itu membuatmu tidak fokus. Kadang kamu tertawa, mengangguk, atau menggelengkan kepala seolah-olah kamu menyimak lawan bicaramu, tapi kamu sebenarnya tidak ada disana, kamu bahkan tidak tahu apa yang sedang dibicarakan karena terkadang tanggapanmu terhadap apa yang sedang dibicarakan sama sekali tidak ber- korelasi.
Terkadang kamu membagi alam pikiranmu saat kamu resah. Saat kamu merasa terlalu penat untuk kamu simpan sendiri. Kamu akan membicarakannya seolah-olah Ia adalah topik penting yang wajib didengarkan. Kamu bahkan tidak peduli kalupun tidak ada yang mendengarkan atau bahkan peduli, karena sebenarnya kamu hanya butuh untuk menumpahkan perasaanmu. Kamu sebenarnya menceritakan untuk diri kamu sendiri. Itu kamu lakukan agar kamu terus ingat memori-memori tentangnya. Kamu ulang terus apa yang otakmu rekam tentangnya agar Ia tidak punah dari pikiranmu. Bahkan bagimu sebuah pesan di inbox handphone-mu yang berbunyi, ”ada apa? Lagi nonton, what’s up anyway?”, bisa membuatmu riang seharian, walaupun tidak berarti apa-apa, tapi kamu cukup tenang mengetahui message-mu dibalas. Aku bertaruh pasti message itu akan selalu ada di inbox-mu menyingkirkan message-message lain yang memenuhi inbox-mu.
Suatu saat aku melihatmu begitu fokus, suatu hal yang jarang sekali kamu lakukan. Kamu tidak lagi ’tersedot’ ke alam itu. Aku tahu karena Ia ada didepan-mu. Kali ini pikiranmu terpusat padanya, seperti alam semesta yang terpusat pada matahari. Sudah kuduga, Ia alasan ketidakfokusanmu. Ia matahari-mu, ketidakfokusanmu berhenti padanya! Kali ini senyuman, anggukan, dan tanggapan-tanggapanmu nyata, bukan hanya sekedar formalitas. Ia cukup untuk-mu, mewakili semua kesenangan-kesenangan-mu.
Sayang Ia terlalu sempurna untuk menjadi nyata, dan itu membuatmu sadar utuk hanya berhenti di kata ’mengagumi’. Kamu tahu diri, walaupun kamu terlalu silau pada cahaya yang Ia pancarkan sampai-sampai cahaya dirimu tertutup olehnya. Bukan kamu yang tidak berharga, hanya saja kamu memandangnya terlalu tinggi. Kamu tidak berani memilikinya, tapi kamu juga terlalu takut untuk melepasnya. Ia hartamu, kehilanganya sama saja ’jatuh miskin’ bagimu. Itulah yang membuatmu diperbudak perasaan olehnya. Aku tidak bisa menyalahkannya, kamu yang salah.
”’Ngga mungkin-lah saya punya perasaan sama dia. Jauh banget dari tipe saya..”, kata-kata ini berhasil merontokkan helai demi helai memorimu tentang ke- maha- an- nya. Tapi kamu bukan hanya ’katarak’, kamu bahkan ’buta permanen’. Kamu terlalu takut sengsara bila kamu hilangkan Ia dari sel-sel otakmu. Lagipula Ia sudah tertanam paten di otakmu. Terlalu sulit untuk mencabutnya. Aku akan malah jahat bila tidak memberitahukan ini padamu. Kupikir lebih baik kamu amputasi Ia dari bagian otakmu. Memang sakit, tapi sudah hanya sekali, tidak akan berkepanjangan. Tapi ternyata aku salah, lukamu tak kunjung sembuh. ’Amputasi’ tidak berhasil untukmu. Lukamu malah meradang. Sudah kubilang agar jangan terlalu mengagungkannya. Kuat tidaknya perasaanmu padanya bergantung pada bagaimana kamu mengembangkannya. Kalau saja kamu bisa membuat perasaanmu ’normal’ padanya, atau paling tidak kamu mengontrolnya agar tidak makin membesar pasti hal ini tidak akan terjadi.
Lihat Ia sama sekali tidak merasa bersalah pada kematianmu. Kamu telah korbankan nyawamu dengan sia-sia. Kamu pasti jengkel mendengar perkataanya saat Ia membuka kain yang menutupi wajahmu. ”Kasian… pikirannya terlalu pendek”. Ia tidak merasakan beban yang kamu tanggung karenanya. Mungkin bahkan Ia tidak tahu Ia-lah penyebab kamu nekad melakukan perbuatan yang dikutuk Tuhan. Mungkin kamu tidak menemukan surga, bahkan neraka-pun menolakmu. Tapi setidaknya kamu bisa bernapas lega, pikiranmu kini hampa, tidak terisi memori tentangnya. Semoga itu membuatmu bahagia.
-Myra Fathira-
Thursday, January 15, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Wuih, dalem...
Post a Comment